MATAHARI sebentar lagi terbenam. Para perempuan bersiap
menghidangkan menu berbuka ke atas meja makan. Di dapurnya, ibu sawiyah, Desa
Pukat, Kecamatan utan, Sumbawa Besar segera menuangkan air putih ke dalam
mangkuk berisi bumbu dan ikan yang sudah dibakar. Begitu air putih tertuang
dalam mangkuk dan diaduk rata, Sepat, makanan khas Tana Samawa itu pun jadi, tanpa di letakkan di
atas api.
Begitulah sejarah Sepat bisa
sampai di meja makan. Tanpa uap dari kuah yang sudah mendidih. Oleh karenanya,
tak ada sepat panas. Sebab kuahnya selalu dingin. Rasanya? Tentu mantap di
lidah. Tapi keunikan masakan khas masyarakat Sumbawa ini tak hanya pada kuah
yang dingin itu saja. Melainkan banyak hal lain. Termasuk cara membuatnya, dan
kebiasaan lidah masyarakat sumbawa ketika menikmatinya.
“Menyajikan Sepat tidak butuh
waktu lama. Tapi bakar membakar bahannya yang butuh waktu. Karena semua
dibakar, termasuk bumbu dan ikannya,” terang ibu Sawiyah sambil menyuguhkan
semangkuk Sepat di meja makan keluarganya.
Sembari menunggu azan tiba, ibu
Sawiyahpun menjelaskan resep masakan khas Sumbawa tersebut. Pertama-tama yang
harus ada adalah ikan segar. Jenisnya bisa apa saja baik dari ikan air tawar
maupun ikan air laut, Pokoknya ikan. Dan akan lebih enak lagi bila ada kepiting
dan udang. Apalagi kepiting sungai yang kecil-kecil. Ibu Sawiyah mengatakan
rasa Sepat buatannya akan berbeda dengan kehadiran kepiting dan udang, semenjak
suaminya meninggal tidak adalagi yang pergi mencari kecuali membeli di pasar.
Lalu untuk bumbunya, ibu Sawiyah
menyebut kemiri, bawang merah, cabe rawit, tomat (jika ingin lebih seger), dan
belimbing wuluh. “Intinya Sepat itu di belimbing wuluh ini. Kalau tidak ada
ini, bisa digantikan dengan mangga mudah atau jambu monyet,” kata Ibu Sawiyah.
Selain itu, Sepat juga bisa
disajikan menggunakan terung ungu. Kehadiran terung ungu yang dibakar lalu
disobek-sobek ini juga menambah kelezatan Sepat di lidah para penikmatnya.
Bila menyajikan Sepat ke meja
makan tak lebih dari 5 menit, maka yang lama adalah menyiapkan bahan-bahannya.
Kesulitannya adalah ketika membakar bahan-bahan tersebut. Mulai dari kemiri,
tomat, terung, dan juga ikannya. Setelah dibakar, bumbu itu dilembutkan. Di bulan
Ramadan, biasanya para perempuan di Desa Pukat Rata sudah menyiapkan bumbunya
di siang hari. Jelang azan magrib tiba, mereka tinggal menyiapkan air putih
saja. Mengaduknya beberapa saat, dan jadilah Sepat.
Menurut ibu Sawiyah, tak mudah
membuat Sepat yang rasanya pas dilidah. Ia sendiri mesti belajar ratusan kali
untuk bisa membuat Sepat yang rasanya pas di lidah. Seringkali kegagalan
membuat Sepat ada pada menakar rasa keasaman kuahnya.
Bagi yang baru membuat Sepat,
seringkali rasanya akan asam. Kalau tidak asam, bisa jadi tawarnya tidak
ketulungan. Maklum, ini masakan yang tidak bisa diutak atik setelah jadi. Sebab
bumbunya lima puluh persen dibakar, dan sebagiannya lagi mentah total. Itulah
uniknya.
Tapi bukan istri lelaki Sumbawa
bila tak becus membuat sepat di dapur. Ibu Sawiyah menegaskan hal itu setelah
menerangkan usahanya yang ratusan kali sampai bisa mahir menyajikan Sepat ke
hadapan suami tercinta dan anak-anaknya. Tanpa Sepat, seolah meja makan kosong
melompong.
“Hukumnya wajib,” tegas Ibu Sawiyah,
seolah menyamakan hidangan tersebut dengan kewajiban umat muslim menjalankan
ibadah puasa di bulan suci Ramadan.
Salah seorang warga Desa Pukat,
Muhammad Jamil mengatakan, tak lengkap menikmati hidangan berbuka tanpa Sepat.
Karena itulah, setiap hari istrinya mesti membuat Sepat untuknya.
“Semua rumah di sini pasti
menghidangkan Sepat baik saat berbuka maupun sahur. Kecuali pendatang,” kata
Muhammad Jamil.
Memang inilah salah satu ciri
khas yang membuat suasana bulan Ramadan di Desa Pukat maupun Desa-Desa lainnya
yang ada di Kecamatan Utan berbeda dengan tempat lainnya. Karena tidak semua
tempat di Sumbawa memiliki kebiasaan membuat Sepat sebagai hidangan wajib saat
berbuka puasa.
Masyarakat yang tinggal di
pegunungan misalnya. Karena tidak mudah untuk mendapatkan ikan, maka sulit
untuk menemukan Sepat di sana. Buktinya, tak ada Sepat di Tepal dan Mantar, jikalaupun
ada otomatis harga ikan sangat tinggi.
Selain Sepat, ada banyak menu
spesial lainnya yang menurut Muhammad Jamil menjadi khas orang Sumbawa, khususnya
warga di Desa Pukat. Menu lainnya yang lebih favorit juga yaitu singan, berbeda
dengan sepat.
Kepala Desa Pukat menambahkan,
sebenarnya sekian banyak kuliner khas Sumbawa ini bisa menjadi sajian yang
menarik minat para pecinta kuliner. Artinya, ada peluang bila dikembangkan ke
dunia bisnis kuliner. Namun Saleh menyayangkan masyarakat Sumbawa yang tak
memiliki jiwa bisnis.
“Kita lebih suka menikmati dari
pada menjualnya. Ayam Taliwang itu bukan Sumbawa, itu Lombok punya. Namanya
saja Taliwang. Itu Taliwang yang ada di Mataram,” katanya.
Hal yang disayangkan oleh Kepala
Desa memang merunut juga pada kesadaran warga khususnya generasi muda di
Sumbawa. Ia menerangkan, saat ini remaja sudah tidak suka makan Sepat. Mungkin
untuk menu lainnya seperti Singang masih dimakan. Tapi tidak lebih menarik dari
makanan cepat saji dan segala menu yang bisa dibeli. Singang, adalah makanan
berkuah berbahan ikan yang juga khas Sumbawa.
Kalau ada warga yang masih
mengatakan tidak bisa berbuka puasa tanpa Sepat, maka bisa dipastikan mereka
adalah generasi zaman old. Bukan generasi “jaman now.” Jadi dipastikan bukan
lagi remaja.
Maka jika penikmat Sepat sudah
habis, bisa dipastikan yang membuatnya pun akan punah. Sangat disayangkan bila
kelak tak ada lagi suami yang meminta istrinya membuat Sepat. Karena di saat
itu juga salah satu tradisi di bulan Ramadan punah. Tinggal cerita.
Ibu Sawiyah dan Kepala Desa
berharap pembinaan kepada generasi muda di desanya bisa lebih baik. Khususnya
untuk bisa memahami nilai-nilai tradisi leluhur. “Selain pemerintah, ini juga
tidak terlepas dari peran lembaga adat,” katanya. Para orang tua sungguh
khawatir.
MATAHARI sebentar lagi terbenam. Para perempuan bersiap
menghidangkan menu berbuka ke atas meja makan. Di dapurnya, ibu sawiyah, Desa
Pukat, Kecamatan utan, Sumbawa Besar segera menuangkan air putih ke dalam
mangkuk berisi bumbu dan ikan yang sudah dibakar. Begitu air putih tertuang
dalam mangkuk dan diaduk rata, Sepat, makanan khas Tana Samawa itu pun jadi, tanpa di letakkan di
atas api.
Begitulah sejarah Sepat bisa
sampai di meja makan. Tanpa uap dari kuah yang sudah mendidih. Oleh karenanya,
tak ada sepat panas. Sebab kuahnya selalu dingin. Rasanya? Tentu mantap di
lidah. Tapi keunikan masakan khas masyarakat Sumbawa ini tak hanya pada kuah
yang dingin itu saja. Melainkan banyak hal lain. Termasuk cara membuatnya, dan
kebiasaan lidah masyarakat sumbawa ketika menikmatinya.
“Menyajikan Sepat tidak butuh
waktu lama. Tapi bakar membakar bahannya yang butuh waktu. Karena semua
dibakar, termasuk bumbu dan ikannya,” terang ibu Sawiyah sambil menyuguhkan
semangkuk Sepat di meja makan keluarganya.
Sembari menunggu azan tiba, ibu
Sawiyahpun menjelaskan resep masakan khas Sumbawa tersebut. Pertama-tama yang
harus ada adalah ikan segar. Jenisnya bisa apa saja baik dari ikan air tawar
maupun ikan air laut, Pokoknya ikan. Dan akan lebih enak lagi bila ada kepiting
dan udang. Apalagi kepiting sungai yang kecil-kecil. Ibu Sawiyah mengatakan
rasa Sepat buatannya akan berbeda dengan kehadiran kepiting dan udang, semenjak
suaminya meninggal tidak adalagi yang pergi mencari kecuali membeli di pasar.
Lalu untuk bumbunya, ibu Sawiyah
menyebut kemiri, bawang merah, cabe rawit, tomat (jika ingin lebih seger), dan
belimbing wuluh. “Intinya Sepat itu di belimbing wuluh ini. Kalau tidak ada
ini, bisa digantikan dengan mangga mudah atau jambu monyet,” kata Ibu Sawiyah.
Selain itu, Sepat juga bisa
disajikan menggunakan terung ungu. Kehadiran terung ungu yang dibakar lalu
disobek-sobek ini juga menambah kelezatan Sepat di lidah para penikmatnya.
Bila menyajikan Sepat ke meja
makan tak lebih dari 5 menit, maka yang lama adalah menyiapkan bahan-bahannya.
Kesulitannya adalah ketika membakar bahan-bahan tersebut. Mulai dari kemiri,
tomat, terung, dan juga ikannya. Setelah dibakar, bumbu itu dilembutkan. Di bulan
Ramadan, biasanya para perempuan di Desa Pukat Rata sudah menyiapkan bumbunya
di siang hari. Jelang azan magrib tiba, mereka tinggal menyiapkan air putih
saja. Mengaduknya beberapa saat, dan jadilah Sepat.
Menurut ibu Sawiyah, tak mudah
membuat Sepat yang rasanya pas dilidah. Ia sendiri mesti belajar ratusan kali
untuk bisa membuat Sepat yang rasanya pas di lidah. Seringkali kegagalan
membuat Sepat ada pada menakar rasa keasaman kuahnya.
Bagi yang baru membuat Sepat,
seringkali rasanya akan asam. Kalau tidak asam, bisa jadi tawarnya tidak
ketulungan. Maklum, ini masakan yang tidak bisa diutak atik setelah jadi. Sebab
bumbunya lima puluh persen dibakar, dan sebagiannya lagi mentah total. Itulah
uniknya.
Tapi bukan istri lelaki Sumbawa
bila tak becus membuat sepat di dapur. Ibu Sawiyah menegaskan hal itu setelah
menerangkan usahanya yang ratusan kali sampai bisa mahir menyajikan Sepat ke
hadapan suami tercinta dan anak-anaknya. Tanpa Sepat, seolah meja makan kosong
melompong.
“Hukumnya wajib,” tegas Ibu Sawiyah,
seolah menyamakan hidangan tersebut dengan kewajiban umat muslim menjalankan
ibadah puasa di bulan suci Ramadan.
Salah seorang warga Desa Pukat,
Muhammad Jamil mengatakan, tak lengkap menikmati hidangan berbuka tanpa Sepat.
Karena itulah, setiap hari istrinya mesti membuat Sepat untuknya.
“Semua rumah di sini pasti
menghidangkan Sepat baik saat berbuka maupun sahur. Kecuali pendatang,” kata
Muhammad Jamil.
Memang inilah salah satu ciri
khas yang membuat suasana bulan Ramadan di Desa Pukat maupun Desa-Desa lainnya
yang ada di Kecamatan Utan berbeda dengan tempat lainnya. Karena tidak semua
tempat di Sumbawa memiliki kebiasaan membuat Sepat sebagai hidangan wajib saat
berbuka puasa.
Masyarakat yang tinggal di
pegunungan misalnya. Karena tidak mudah untuk mendapatkan ikan, maka sulit
untuk menemukan Sepat di sana. Buktinya, tak ada Sepat di Tepal dan Mantar, jikalaupun
ada otomatis harga ikan sangat tinggi.
Selain Sepat, ada banyak menu
spesial lainnya yang menurut Muhammad Jamil menjadi khas orang Sumbawa, khususnya
warga di Desa Pukat. Menu lainnya yang lebih favorit juga yaitu singan, berbeda
dengan sepat.
Kepala Desa Pukat menambahkan,
sebenarnya sekian banyak kuliner khas Sumbawa ini bisa menjadi sajian yang
menarik minat para pecinta kuliner. Artinya, ada peluang bila dikembangkan ke
dunia bisnis kuliner. Namun Saleh menyayangkan masyarakat Sumbawa yang tak
memiliki jiwa bisnis.
“Kita lebih suka menikmati dari
pada menjualnya. Ayam Taliwang itu bukan Sumbawa, itu Lombok punya. Namanya
saja Taliwang. Itu Taliwang yang ada di Mataram,” katanya.
Hal yang disayangkan oleh Kepala
Desa memang merunut juga pada kesadaran warga khususnya generasi muda di
Sumbawa. Ia menerangkan, saat ini remaja sudah tidak suka makan Sepat. Mungkin
untuk menu lainnya seperti Singang masih dimakan. Tapi tidak lebih menarik dari
makanan cepat saji dan segala menu yang bisa dibeli. Singang, adalah makanan
berkuah berbahan ikan yang juga khas Sumbawa.
Kalau ada warga yang masih
mengatakan tidak bisa berbuka puasa tanpa Sepat, maka bisa dipastikan mereka
adalah generasi zaman old. Bukan generasi “jaman now.” Jadi dipastikan bukan
lagi remaja.
Maka jika penikmat Sepat sudah
habis, bisa dipastikan yang membuatnya pun akan punah. Sangat disayangkan bila
kelak tak ada lagi suami yang meminta istrinya membuat Sepat. Karena di saat
itu juga salah satu tradisi di bulan Ramadan punah. Tinggal cerita.
Ibu Sawiyah dan Kepala Desa
berharap pembinaan kepada generasi muda di desanya bisa lebih baik. Khususnya
untuk bisa memahami nilai-nilai tradisi leluhur. “Selain pemerintah, ini juga
tidak terlepas dari peran lembaga adat,” katanya. Para orang tua sungguh
khawatir.