Selasa, 01 Oktober 2019

Sejarah dan Kenikmatan Sepat Sumbawa


MATAHARI sebentar lagi terbenam. Para perempuan bersiap menghidangkan menu berbuka ke atas meja makan. Di dapurnya, ibu sawiyah, Desa Pukat, Kecamatan utan, Sumbawa Besar segera menuangkan air putih ke dalam mangkuk berisi bumbu dan ikan yang sudah dibakar. Begitu air putih tertuang dalam mangkuk dan diaduk rata, Sepat, makanan khas Tana Samawa itu pun jadi, tanpa di letakkan di atas api.

Begitulah sejarah Sepat bisa sampai di meja makan. Tanpa uap dari kuah yang sudah mendidih. Oleh karenanya, tak ada sepat panas. Sebab kuahnya selalu dingin. Rasanya? Tentu mantap di lidah. Tapi keunikan masakan khas masyarakat Sumbawa ini tak hanya pada kuah yang dingin itu saja. Melainkan banyak hal lain. Termasuk cara membuatnya, dan kebiasaan lidah masyarakat sumbawa ketika menikmatinya.
“Menyajikan Sepat tidak butuh waktu lama. Tapi bakar membakar bahannya yang butuh waktu. Karena semua dibakar, termasuk bumbu dan ikannya,” terang ibu Sawiyah sambil menyuguhkan semangkuk Sepat di meja makan keluarganya.
Sembari menunggu azan tiba, ibu Sawiyahpun menjelaskan resep masakan khas Sumbawa tersebut. Pertama-tama yang harus ada adalah ikan segar. Jenisnya bisa apa saja baik dari ikan air tawar maupun ikan air laut, Pokoknya ikan. Dan akan lebih enak lagi bila ada kepiting dan udang. Apalagi kepiting sungai yang kecil-kecil. Ibu Sawiyah mengatakan rasa Sepat buatannya akan berbeda dengan kehadiran kepiting dan udang, semenjak suaminya meninggal tidak adalagi yang pergi mencari kecuali membeli di pasar.
Lalu untuk bumbunya, ibu Sawiyah menyebut kemiri, bawang merah, cabe rawit, tomat (jika ingin lebih seger), dan belimbing wuluh. “Intinya Sepat itu di belimbing wuluh ini. Kalau tidak ada ini, bisa digantikan dengan mangga mudah atau jambu monyet,” kata Ibu Sawiyah.
Selain itu, Sepat juga bisa disajikan menggunakan terung ungu. Kehadiran terung ungu yang dibakar lalu disobek-sobek ini juga menambah kelezatan Sepat di lidah para penikmatnya.
Bila menyajikan Sepat ke meja makan tak lebih dari 5 menit, maka yang lama adalah menyiapkan bahan-bahannya. Kesulitannya adalah ketika membakar bahan-bahan tersebut. Mulai dari kemiri, tomat, terung, dan juga ikannya. Setelah dibakar, bumbu itu dilembutkan. Di bulan Ramadan, biasanya para perempuan di Desa Pukat Rata sudah menyiapkan bumbunya di siang hari. Jelang azan magrib tiba, mereka tinggal menyiapkan air putih saja. Mengaduknya beberapa saat, dan jadilah Sepat.
Menurut ibu Sawiyah, tak mudah membuat Sepat yang rasanya pas dilidah. Ia sendiri mesti belajar ratusan kali untuk bisa membuat Sepat yang rasanya pas di lidah. Seringkali kegagalan membuat Sepat ada pada menakar rasa keasaman kuahnya.
Bagi yang baru membuat Sepat, seringkali rasanya akan asam. Kalau tidak asam, bisa jadi tawarnya tidak ketulungan. Maklum, ini masakan yang tidak bisa diutak atik setelah jadi. Sebab bumbunya lima puluh persen dibakar, dan sebagiannya lagi mentah total. Itulah uniknya.
Tapi bukan istri lelaki Sumbawa bila tak becus membuat sepat di dapur. Ibu Sawiyah menegaskan hal itu setelah menerangkan usahanya yang ratusan kali sampai bisa mahir menyajikan Sepat ke hadapan suami tercinta dan anak-anaknya. Tanpa Sepat, seolah meja makan kosong melompong.
“Hukumnya wajib,” tegas Ibu Sawiyah, seolah menyamakan hidangan tersebut dengan kewajiban umat muslim menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadan.
Salah seorang warga Desa Pukat, Muhammad Jamil mengatakan, tak lengkap menikmati hidangan berbuka tanpa Sepat. Karena itulah, setiap hari istrinya mesti membuat Sepat untuknya.
“Semua rumah di sini pasti menghidangkan Sepat baik saat berbuka maupun sahur. Kecuali pendatang,” kata Muhammad Jamil.
Memang inilah salah satu ciri khas yang membuat suasana bulan Ramadan di Desa Pukat maupun Desa-Desa lainnya yang ada di Kecamatan Utan berbeda dengan tempat lainnya. Karena tidak semua tempat di Sumbawa memiliki kebiasaan membuat Sepat sebagai hidangan wajib saat berbuka puasa.
Masyarakat yang tinggal di pegunungan misalnya. Karena tidak mudah untuk mendapatkan ikan, maka sulit untuk menemukan Sepat di sana. Buktinya, tak ada Sepat di Tepal dan Mantar, jikalaupun ada otomatis harga ikan sangat tinggi.
Selain Sepat, ada banyak menu spesial lainnya yang menurut Muhammad Jamil menjadi khas orang Sumbawa, khususnya warga di Desa Pukat. Menu lainnya yang lebih favorit juga yaitu singan, berbeda dengan sepat.
Kepala Desa Pukat menambahkan, sebenarnya sekian banyak kuliner khas Sumbawa ini bisa menjadi sajian yang menarik minat para pecinta kuliner. Artinya, ada peluang bila dikembangkan ke dunia bisnis kuliner. Namun Saleh menyayangkan masyarakat Sumbawa yang tak memiliki jiwa bisnis.
“Kita lebih suka menikmati dari pada menjualnya. Ayam Taliwang itu bukan Sumbawa, itu Lombok punya. Namanya saja Taliwang. Itu Taliwang yang ada di Mataram,” katanya.
Hal yang disayangkan oleh Kepala Desa memang merunut juga pada kesadaran warga khususnya generasi muda di Sumbawa. Ia menerangkan, saat ini remaja sudah tidak suka makan Sepat. Mungkin untuk menu lainnya seperti Singang masih dimakan. Tapi tidak lebih menarik dari makanan cepat saji dan segala menu yang bisa dibeli. Singang, adalah makanan berkuah berbahan ikan yang juga khas Sumbawa.
Kalau ada warga yang masih mengatakan tidak bisa berbuka puasa tanpa Sepat, maka bisa dipastikan mereka adalah generasi zaman old. Bukan generasi “jaman now.” Jadi dipastikan bukan lagi remaja.
Maka jika penikmat Sepat sudah habis, bisa dipastikan yang membuatnya pun akan punah. Sangat disayangkan bila kelak tak ada lagi suami yang meminta istrinya membuat Sepat. Karena di saat itu juga salah satu tradisi di bulan Ramadan punah. Tinggal cerita.
Ibu Sawiyah dan Kepala Desa berharap pembinaan kepada generasi muda di desanya bisa lebih baik. Khususnya untuk bisa memahami nilai-nilai tradisi leluhur. “Selain pemerintah, ini juga tidak terlepas dari peran lembaga adat,” katanya. Para orang tua sungguh khawatir.

Flag Counter

6 komentar:

  1. Permisi mbaq tolla, sebagai generasi pemuda, dan sy meawakili dari kalangan pemuda pemudi anak sumbawa, ingin membenarkan bahwa rata-rata anak jaman sekarang malah sepat itu populer banget dikalangan mereka, mungkin sebagian dari sumbawa barat bisa kita katakan itu menjadi ajang perlombaan pengambilan nnilai dalam prakte di sekolahnya, adapula dengan secara sengajanya penuda pemudi mengadakan kumpul-kumpul dalam akhir pekannya untuk menghabiskan waktunya dipantai menyantap sepat tersebut.
    Mungkin itu pendapat dari saya tentang pemuda yang masih penggemar sepat di bagian sumbawa barat ini.
    Selanjutnya....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih mba atas masukannya... sepat masakan yanhg sangat istimewa, dan di olah dengan banyak cara dan membuatnya berbeda2 rasa. Untuk anak muda dalam membuat sepat yang sangat baik jarang kita temukan tetapi untuk menyantap mereka lebih suka, karna proses pembuatannya yang lama karna membutuh proses pembakaran itu yang membuat kebanyakan remaja agak malas untuk melakukan hal semacam itu.
      Semoga apa yang di katakan oleh para orang tua tidak benar....

      Hapus
  2. Perku sy coba dulu rasanya kayak nya ini

    BalasHapus

 
Rahmatullahtola Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template